nyaris jam dua, kepalaku tak berhenti bekerja

kalau energi ini separuhnya saja kukerahkan pada tugas psikologi, akan kuucapkan syukur berkali-kali. sayangnya itu hanya harap-harap yang hadir karena cemas akan deadline pengumpulan. sayangnya yang terjadi adalah, kepalaku tak berhenti bekerja dan bertanya-tanya,

“apakah aku bisa memanggil diriku penulis?”

memang benar sudah ada karyaku yang lahir di dunia. memang benar aku sudah mendengar ucapan mengandung tanya, kapan anak-anakku lain masuk ke ruang persalinan — ruang berlabel penerbitan dan percetakan. sesungguhnya tak masuk akal aku menanyakan hal ini, sementara otakku terus mengalirkan kata-kata dan tanganku masih lanjut menekan tuts keyboard. menuliskan apa saja yang diingin kepala.

tapi ini nyaris jam dua, aku masih terjaga, dan kalian masih membaca.

pikiran manusia adalah bukti nyata absurditas. entah itu kutipan dari mana — maafkan aku, bapak ibu dosen, dini hari ini saja aku tak tertarik mencamtumkan daftar pustaka. aku mengatakan itu berdasar observasi semata. bagaimana seseorang sudah diberikan kelebihan dan kekurangan yang sesuai porsi di mata Tuhan, tapi tetap saja tak puas pikir-jiwa. aku contohnya.

aku, yang tersenyum sendiri saat membaca kisah romansa picisan. untuk kemudian menggerutu saat diriku gagal memfabrikasi emosi untuk kepentingan tulisan fiksi. “kenapa sih, menulis dua orang jatuh cinta susahnya setengah mati? memangnya hatiku sudah mati?”

aku, yang bisa merasakan aura ceria pengguna sosial media dari unggahannya. untuk kemudian menekuk wajah saat tulisanku tak memancarkan energi yang sama. positive vibes seolah mitos di dunia kata-kata ashfalia pramudya — meski sejatinya ia sangat mendambanya.

lucunya, seberapa kerasnya aku memaki diri, aku tak bisa berhenti.

di mataku, menulis bukan profesi. menulis adalah adiksi berbasis afeksi.

dan aku adalah pecandu. lagi, lagi, dan lagi.